Oleh: Abdul Majid Muhdlor M.Pd
www.apikkaliwungu.com_Islam dengan totalitas ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, tidak hanya sebatas mengatur hubungannya dengan Allah Swt (ibadah), tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (muamalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dalam upaya mewujudkan kemaslahatan umat secara menyeluruh dan tegaknya nilai-nilai keadilan berbasis syariah di bumi ini.
Bila nilai-nilai tersebut kemaslahatan dan keadilan bagi manusia diabaikan, maka sungguh akan terjadi berbagai bentuk diskriminasi, penindasan dan kezaliman. Berkaitan dengan hal itu, maka Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara.
Terkait dengan persoalan ini, tentu harus ada pula lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan, perda atau qanun, di samping lembaga yang secara khusus menegakkan supremasi hukum. Ketiga otoritas tersebut dalam istilah teori kenegaraan modern (saparation of power), terdiri dari pihak atau lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sekalipun, betapa pentingnya sebuah pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model atau bentuk dari suatu negara tersebut. Karena itu munculnya perbedaan di kalangan para ahli hukum dan pakar politik, merupakan sesuatu yang wajar. Baik Alquran maupun al-Sunnah, yang keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, nampaknya tidak memberi petunjuk yang tegas tentang hal itu.
Al-Qur’an hanya memberikan beberapa landasan yang prinsipil, antara lain “asas musyawarah” dalam hubungan dengan proses pemilihan pemimpin, menuntut pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. Hal ini seperti dijelaskan Allah dalam Alquran: “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syu’ara: 38).
Atas dasar itu mengharuskan setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya seperti dikatakan oleh Imam al-Syafi’i bahwa kedudukan pemerintah dalam hubungannya dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan anak yatim.
Kampanye dan Pemilihan secara damai
Kampanye menurut Kamus dapat dipahami sebagai usaha untuk mempengaruhi, dan menggaet massa guna memperoleh dukungan dalam dunia politik, sehingga diharapkan warga masyarakat memberikan dukungan suara kepada partainya (M.B. Ali:1997). Atau bisa juga dipahami, sebagai usaha mempengaruhi konsumen dalam dunia dagang seperti berbagai iklan lewat surat kabar dan lainnya, dengan memberikan embel-embel sejumlah hadiah menarik bila membeli produk tertentu dan sebagainya.
Melihat multipartai di Indonesia, maka pertanyaan yang sering muncul di dalam masyarakat adalah “mampukah masing-masing parnas dan parlok, menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi” dan proses pemilu itu berlangsung dengan damai?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut penulis minimal ada empat hal yang harus diperhatikan: Pertama, perlu merekonstruksi ulang semangat perjuangan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Beliau telah meletakkan dasar-dasar pembentukan negara Madinah, yang dibangun bersama dengan tidak membedakan suku dan agama baik Islam, Yahudi maupun Nasrani.
Islam secara fakta telah memancangkan ukhuwah yang begitu kuat, menebarkan prinsip ishlah dengan selalu harmonis antara satu dengan lannya dalam susana damai. Dan prinsip-prinsip ini pula yang telah diteruskan oleh para sahabat khulafaur rasyidin, sehinga berlangsung sistem suksesi yang sehat dan aman.
Kedua, kajian sejarah perjuangan bangsa. Bila kita melihat dari segi sejarah, banyak sekali para pejuang di negeri ini termasuk di bumi Iskandar Muda, yang telah berjihad membela dan mempertahankan tanah airnya dari segala bentuk penindasan dan kezaliman para penjajah. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka lewat ahli warisnya tidak pernah menuntut imbalan sebagai kompensasi atas kerugian mereka. Tetapi semua itu diikhlaskan sebagai motivasi hubbul wathan minal iman.
Ketiga, bersikap sopan dan santun. Sikap seperti ini merupakan manifestasi dari nilai Alquran, linta lahum (lemah lembut) dan tidak kasar (fadzzan ghalidha), tidak melakukan intimidasi (menakut-nakuti), sifat tersebut akan menjadi magnet, daya tarik dan simpatisan dari pencintanya.
Keempat, Ingat sebagai amanah dan jadikan amal salih. Amanah merupakan suatu kepercayaan, baik dari negara, dan partisipan masyarakat pemilih. Ingat, pemimpin tanpa rakyat di berbagai pelosok desa ia tak akan mulia dan rakyat tanpa pemimpin ia tak akan bermakna. Sekali mengkhianati rakyat, seumur hidup anda tidak akan dipercaya.
Setiap amanah akan diminta mas-uliah-nya oleh Tuhan. Namun bila itu semua dilakukan dengan ikhlas, maka di mata Allah menjadikannya sebagai amal jariyah. Harus pula dipahami, baik tidaknya suatu parpol, tidaklah dinyatakan oleh peserta pemilu itu sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh pendukungnya yaitu rakyat sebagai pemilih.
Bagi rakyat, menyangkut dengan patai dan orangnya tidaklah menjadi persoalan, akan tetapi yang menjadi keinginan dan harapan adalah bagaimana sikap dan kerjanya orang-orang yang kelak duduk di dalam parlemen. Punyakah akhlak dan hati nurani, bahwa mereka berpihak kepada rakyat kecil, ataukah ibarat kata orang “habis manis sepah di buang”?
Para ahli fiqih menyebutkan beberapa sifat umum bagi ahl al-halli wa al-aqdi (wakil-wakil rakyat) yang dipilih, minimal harus ada pada dirinya tiga sifat: Pertama, mereka harus adil, artinya harus mempunyai integritas akhlaq dan moral yang baik, di samping disiplin terhadap agamanya. Jadi bukan seorang ahli maksiat dan zalim;
Kedua, mereka dituntut mempunyai ilmu dan pengetahuan yang cukup terhadap calon pemimpin negara/pejabat lainnya yang dipilih, sehingga nantinya mampu mempertanggungjawabkan tidak hanya terhadap diri, masyarakat, negara, bahkan yang sangat penting kepada Allah Swt, dan; Ketiga, mempunyai wawasan yang luas mengenai kualifikasi pemimpin yang dipilih. Artinya, harus mengutamakan sosok dan kualitas pemimpin dan sesuai dengan kondisi pada masanya.
Hal tersebut merupakan cara-cara untuk menghormati aspirasi rakyat dan kedaulatannya, yaitu memilih wakil-wakilnya sesuai dengan harapan dan keinginan mereka, tanpa ada intimidasi dan penekanan dari pihak manapun juga
Hormati Keputusan rakyat, apa yang sudah menjadi Keputusan jangan dirusak dengan hanya meperhitungkan laporan pihak yang kalah atau dirugikan. Salam damai untuk Indonesia Emas
Leave a comment