KH.Ahmad Ru’yat

www.apikkaliwungu.com_Kaliwungu, tiap tanggal 9 Robi’us Tsani di Masjid Besar Al-Muttaqin diadakan haul akbar dalam rangka memperingati haul KH. Ahmad Ru’yat, pengasuh Pon Pes Salaf APIK Kauman Kaliwungu yang ke 2. Selain beliau, haul juga untuk mendo’akan Wali Musyaffa’, dan para masyayih, para kyai Kaliwungu terdahulu. Haul ini tidak hanya diikuti oleh para santri yang sedang nyantri di Kaliwungu, tapi juga para alumni Pon Pes Salaf APIK Kauman Kaliwungu yang sudah boyong, serta oleh masyarakat baik dari Kaliwungu atau luar Kaliwungu. Bahkan, konsumsi untuk acara ini ditanggung oleh masyarakat Kaliwungu dengan cara tiap 1 warga menyumbang beberapa bungkus nasi dan air mineral gelas. Maka jadi pemandangan menarik saat peserta haul membuka nasi bungkus miliknya, akan berbeda lauknya dengan temannya atau orang sebelahnya.

Hal ini tentunya dikarenakan kemampuan tiap warga berbeda satu dengan yang lain. Yang terhitung mampu tentunya akan menyumbang lebih, baik isi atau jumlahnya. Sedang yang kurang mampu juga tak kalah semangat untuk andil meski kadarnya tak sama dengan yang mampu. Maka bisa dipastikan pada hari itu sekitaran Masjid Kaliwungu tampak ramai, sesak, manusia tumpah ruah. Mulai dari jam 7 pagi jama’ah haul sudah memenuhi serambi masjid dan makin siang parkiran hingga jalan di samping masjid makin sulit untuk dilewati saking ramainya.

Semuanya khusyuk mengikuti acara haul yang diawali pembacaan Diba’, Yasin, tahlil, kemudian sambutan dan acara inti manqobah atau sejarah dari beliau KH. Ahmad Ru’yat dan karib beliau, Wali Musyaffa’, yang disampaikan oleh KH. Sholahuddin Humaidullah (APIK) dan KH. Dimyati Rois (Al-Fadlu).

Sebenarnya siapakah sosok KH. Ahmad Ru’yat.? Kenapa haul beliau sampai diperingati oleh para santri dan juga masyarakat Kaliwungu.? Apa andil beliau bagi Kaliwungu.? Riwayat Kyai Ru’yat lahir pada tahun 1305 H/1885 M di Kampung Pungkuran, Kutoharjo, Kaliwungu. Ayah beliau bernama Abdullah bin Musa. Jadi beliau keponakan dari KH. Irfan bin Musa (pendiri APIK). Ibu beliau bernama Sujatmi. Masa kecil beliau dihabiskan dengan mengaji Al-Qur’an kepada KH. Abdul Karim di kampung Petekan. Kyai Abdul Karim ini waktu nyantri di Mekkah bareng KH. Kholil Bangkalan, KH. Anwar Batang, KH. Nawani Banten. Selain itu, beliau juga mengaji kitab Tashrifan dan Jurumiyah kepada seorang Waliyulloh bernama Kyai Barmawi di belakang Pondok Kauman. Selepas mengalami peningkatan, beliau melanjutkan ngaji kepada seorang pendiri Pesantren Petekan yang juga merupakan anak dari Guru Al-Qur’annya dahulu, yakni Al-Mukarrom Kyai Ahmad bin Al-Allamah Kyai Abdul Karim bin Rifa’i. Kepada Kyai Ahmad, beliau mengaji kitab Hasiyah al Bajuri Ala Fathil Qorib.

Beliau juga mengaji sekian kitab ilmu Syariah dan perangkatnya seperti Fathul Wahhab, Qotrun Nada, Taqribul Ushul kepada Paman beliau sendiri yakni Kyai Irfan bin Musa. Selanjutnya beliau meneruskan mengaji di luar Kaliwungu (mondok) kepada Romo Kyai Idris Jemsaren Solo selama kurang lebih 12 tahun (1908-1920 M). Selepas pulang dari mondok, beliau menikah dan merintis usaha. Mulai dari bekerja di perusahan batik paman beliau, bertani hingga jualan jamu dan kitab pernah beliau jalani. Namun semua profesi tersebut bukan diniatkan untuk menjadi kaya harta, tapi semata untuk menolong beliau, sebagai sangu dalam berjuang menyebarkan agama. Terbukti tiap hari aktifitas beliau tidak lepas dari mengajar ngaji. Mulai habis subuh hingga jam 08.00 beliau membacakan Tafsir Jalalain, Fathul Wahhab, Ihya’Ulumiddin. Selepas itu dilanjutkan dengan membaca Shohih Bukhori, Syarah Mahalli Alal Minhaj, dan Iqna’. Kemudian setelah dzuhur beliau membaca kitab-kitab kecil berjumlah empat macam. Dilanjut ba’da ashar beliau membaca Tafsir Baidlowi. Jika masuk bulan Romadlon, kitab yang selalu beliau baca adalah Tafsir Jalalain dari semenjak pukul 07.00 pagi sampai pukul 15.00. Lalu setelah ashar beliau membaca Irsyadul Ibad, dan setelah shalat tarawih beliau membaca Ar-Riyadul Badi’ah dan Minhajul Abidin. Selain alim, Kyai Ru’yat sangat Tawadlu’. Beliau tidak malu mengaji kitab Tafsir Munir dengan muridnya yang bernama Shofi dari Randudongkal Pemalang, juga mau mengaji Durrotun Nashihin dengan santrinya yang bernama Irsyad dari Tegal. Karena kealiman beliau, pada masa itu hampir semua kyai Kaliwungu ngaji kepada beliau.

Menurut penuturan KH. Hafidhin Ahmaddum, Kaliwungu pada masa itu bagai universitas dan KH. Ahmad Ru’yat adalah grand syaikh-nya. Tak kurang dari 31 kyai mengaji kepada beliau. Padahal kyai-kyai tersebut juga punya banyak santri. Dan karena ketokohannya, beliau juga menjadi rujukan utama bagi setiap permasalahan yang ada di Kaliwungu, baik yang terjadi di pondok pesantren atau lingkungan masyarakat. Seperti misalnya saat KH. Irfan wafat pada tahun 1439 H/ 1931 M, beliau yang kemudian mengasuh pondok APIK, karena putra-putra Kyai Irfan masih muda-muda. Sama halnya saat Ky. Ahmad Dum Irfan meninggal pada tahun 1959 M di ARIS terjadi kevakuman, maka beliaulah yang mengambil alih dan ngopeni para santrinya. Beliau juga yang kemudian menikahkan janda Kyai Ahmad Dum, Nyai Muzayyanah dengan KH. Cholil Hasan yang berasal dari Nganjuk, Jatim, pada tahun 1968 M. Kemudian beliau mempunyai gagasan untuk mengubah pondok ARIS yang awalnya pondok putra, menjadi pondok putri seiring banyaknya para wali santri yang ingin memondokkan anak perempuannya. Atas inisiatif Kyai Ru’yat dibentuklah kepanitiaan pendirian pondok pesantren putri ARIS yang terdiri dari KH. Cholil Hasan, KH. Humaidullah Irfan, KH. Ibadullah Irfan dan KH. Asror Ridwan. Kepanitiaan berhasil melaksanakan upaya membebaskan tanah seluas 3500 meter persegi serta meletakkan batu pertama sebagai pondasi pondok pesantren ARIS, sampai selesai pada tahun 1978, sekaligus dibuka untuk menerima santri putri bersamaan dengan pengajian kilat/pasaran bulan Ramadhan 1399 H bertepatan dengan tanggal 12 Agustus 1978 M.

Sayangnya, hal ini tak sempat disaksikan oleh Kyai Ru’yat karena beliau wafat pada tahun 1968 M. Beliau wafat pada malam Jum’at tanggal 9 Robi’ul Akkhir 1388 H/ 4 Juli 1968 M dan tidak meninggalkan keturunan. Karena tidak punya anak, beliau sempat sedih dan khawatir, terutama jika esok saat sudah meninggal tak ada yang mendoakannya. Namun kekhawatiran itu ditepis oleh sahabat karibnya, Kyai Syarbini, yang hafal kebaikan dan amal ibadah Kyai Ru’yat, dengan mantab berkata : “Ru’yat. Sabar, janganlah bersedih.! Anakmu adalah seluruh santri dan masyarakat Kaliwungu. Merekalah yang akan mendoakanmu saat engkau wafat kelak”. Dan terbukti kini ucapan Kyai Syarbini, meski tak punya anak biologis (keturunan) tapi KH. Ahmad Ru’yat punya ribuan anak spiritual (santri), karena santri-santri beliau sekarang ini sudah menjadi kyai-kyai yang mengajar para santri, yang otomatis menjadi santri-santri beliau jua. Dan mendoakan beliau, menghadiri haul beliau tiap tanggal 9 Robiul Akhir, yang akhirnya juga dijadikan sebagai haul akbar para masyayih Kaliwungu

. رَبِ فَانـْفَعْنَا بِـبَرْكَتِهِمْ ۞ وَاهْدِناَ الْحُسْنَى بِحُرْمَتِهِمْوَ امِـتْنَا فِي طَـرِيْقَـتِــــــهِمْ ۞وَ مُـعـَافَاة مِـنَ الْـفِـتَــــــــــنِ Semoga kita diakui sebagai santri-santri beliau dan diberi kemudahan meneladani akhlak beliau. Amiin.

Facebook Comments