Maksud Dari Haji Adalah Arafah
Oleh: Abdul Majid Muhdlor M.Pd
www.apikkaliwungu.com_Haji adalah ibadah sekaligus perjalanan spiritual yang menghubungkan jutaan umat Muslim dari berbagai penjuru dunia. Setiap tahun, jutaan orang berkumpul di kota suci Makkah untuk melaksanakan rangkaian ibadah yang telah diwariskan sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana ibadah lainnya, haji memiliki rukun yang mesti dilaksanakan oleh jamaah haji, yaitu ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’i, tahalul, dan dilaksanakan secara tertib.
Semua rangkaian rukun tersebut berdasarkan petunjuk dari Nabi SAW yang dapat dirujuk dalam hadits. Meskipun haji terdiri dari beberapa rukun, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa “Haji adalah ‘Arafah,” seolah-olah tidak ada rukun lainnya. Padahal maksudnya belum tentu demikian. Hadits tersebut adalah: Ketentuan Wukuf di Arafah
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ قَالَ شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ نَاسٌ فَسَأَلُوهُ عَنْ الْحَجِّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdur Rahman bin Ya’mar, ia berkata; ‘Saya menyaksikan Rasulullah SAW didatangi orang-orang, kemudian mereka bertanya perihal haji, lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Inti Haji adalah wukuf di Arafah, siapa pun yang mendapatkan malam Arafah sebelum terbit fajar dari malam jam’ (waktu sore pada hari Arafah) maka hajinya telah sempurna’.” (HR An-Nasa’i).
Pada riwayat serupa yang disampaikan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ أَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ya’mar, bahwa beberapa orang dari Najd menemui Rasulullah SAW saat beliau sedang berada di Arafah. Mereka bertanya tentang haji, lalu beliau memerintahkan orang dan dia berseru; ‘Haji adalah Arafah, siapa pun yang datang pada malam Arafah sebelum terbit fajar, maka dia telah mendapatkan haji. Hari Mina adalah sebanyak tiga hari. Siapa pun yang tergesa-gesa kembali pada hari kedua, maka dia tidak berdosa. Siapa pun yang mengakhirkan dengan kembali pada hari ketiga juga tidak berdosa’.” (HR At-Tirmidzi).
Setelah riwayat tersebut, at-Tirmidzi melampirkan keterangan, menurut Waki’ hadits ini merupakan induknya Manasik Haji. (At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, [Beirut: Darul Jayl, 1998], jilid II, hal. 226). Terkait kualitas hadits ini, Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir menjelaskan keshahihannya dan beberapa ulama hadits telah meriwayatkannya, di antaranya adalah Ahmad dalam Musnad-nya, penulis kitab Sunan yang empat: Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, dan Tirmidzi, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan juga al-Hakim dalam Al-Mustadrak. (Ibnul Mulaqqin, al-Badrul Munir, [Saudi: Darul Hijrah, 2004], jilid VI, hal. 230).
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi dalam catatan kaki Sunan Ibn Majah menjelaskan maksud ‘Haji adalah ‘Arafah’ yaitu bagian penting dan utama dari ibadah haji adalah wukuf di hari Arafah. Sehingga siapa pun yang melaksanakan ibadah haji dan memenuhi rukun berupa wukuf di ‘Arafah, kemungkinan besar ibadah hajinya aman dari kegagalan. (Ibnu Majah al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid II, hal. 1003).
Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar menjelaskan bahwa jawaban Rasulullah SAW adalah jawaban yang sempurna, tidak kurang maupun lebih. Begitulah ciri khas perkataan Nabi, yaitu singkat padat. Allah Ta’ala telah memberinya kemampuan untuk berbicara dengan kata-kata yang ringkas namun bermakna luas. Kemudian, ath-Thahawi lanjut menjelaskan, ketika orang-orang bertanya tentang rangkaian ibadah dalam haji yang wajib, Nabi SAW pasti akan menyebutkan ‘Arafah, tawaf, Muzdalifah, dan rangkaian lainnya yang wajib dilakukan dalam haji. Hanya saja, ketika Nabi SAW tidak menyebutkannya secara detail, dapat diketahui bahwa yang mereka maksud dalam pertanyaan terkait haji adalah ‘rukun yang jika ditinggalkan maka hajinya tidak sah dan batal.’ Maka Nabi SAW pun menjawab mereka dengan menyebut, “Haji adalah hari Arafah.” (Ath-Thahawi, Syarh Ma’anil Atsar, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1399], jilid II, hal. 210).
Senada dengan penjelasan di atas, Al-Munawi dalam Faydhul Qadir menerangkan maksud “Haji adalah Arafah”, yaitu kebanyakan atau inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Alasannya karena haji menjadi batal jika wukufnya terlewat, seperti yang disebutkan oleh al-Baidhawi. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid XIII, hal. 11).
Kesimpulannya, penting untuk memahami bahwa ungkapan “Haji adalah Arafah” yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bukanlah untuk mengabaikan rukun haji lainnya, tetapi untuk menegaskan betapa krusialnya wukuf di Arafah dalam pelaksanaan haji. Pernyataan seperti dalam hadits di atas menunjukkan kebijaksanaan Nabi dalam memberikan jawaban yang ringkas namun sarat makna. Dengan memahami konteks dan maksud hadits ini, diharapkan jamaah haji dapat lebih memahami pentingnya setiap rukun haji dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Leave a comment