- Fatwa MUI menyikapi Pandemi Virus Corona
Dalam fatwa Nomor 14 tahun 2020 itu, MUI menyebut bahwa orang yang telah terpapar virus corona “wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain”.
Bagi orang tersebut, berdasarkan fatwa yang ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF, “salat Jumat dapat diganti dengan salat zuhur di tempat kediaman, karena salat Jum’at merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal”.
” Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah salat lima waktu/ rawatib, salat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.”
Bagaimana dengan orang sehat dan yang belum diketahui terpapar Covid-19?
Fatwa Nomor 14 tahun 2020 yang dirilis pada Senin (16/03) menyebut:
- Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan salat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah salat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
- Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus Corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
- Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan salat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan salat zuhur di tempat masing-masing.
- Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
- Pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk mensalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.

Kita mengenal ad-dharuriyyatul khams atau lima prinsip dasar yang menjadi landasan hukum atas pemberlakuan syariat tertentu. Prinsip ini yang disebut dengan nama lainnya ushulus syariah (pokok syariat). Salah satu prinsipnya adalah hifzhun nafs, hifzhun nufus, atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia. Di sini kami akan mengutip pandangan Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M), ulama pertama (menurut Muhammad Musthafa As-Syalabi) yang merumuskan lima prinsip tersebut dalam karyanya Al-Burhan fi Ushulil Fiqhi.
هذا الذي ذكره هؤلاء أصول الشريعة ونحن نقسمها خمسة أقسام أحدها ما يعقل معناه وهو أصل ويئول المعنى المعقول منه إلى أمر ضروري لا بد منه مع تقرير غاية الإيالة الكلية والسياسية العامية وهذا بمنزلة قضاء الشرع بوجوب القصاص في أوانه فهو معلل بتحقق العصمة في الدماء المحقونة والزجر عن التهجم عليها
Artinya, “Apa yang disebutkan para ulama adalah ushulus syariah atau prinsip pokok syariat. Kami membaginya menjadi lima. Pertama, prinsip yang maknanya dapat dinalar dan ini pokok. Prinsip yang ternalar berpulang kepada masalah mendasar (amrin dharuriyyin) yang tidak dapat tidak bersamaan dengan penetapan tujuan universal dan kebijaksanaan umum. Ini–seperti kedudukan putusan syariat atas kewajiban qishash pada waktunya–dapat dijadikan illat atau dasar hukum untuk mewujudkan kepastian keselamatan jiwa yang wajib dilindungi dan mewujudkan larangan atas ancaman keselamatan jiwa tersebut” (Lihat Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushulil Fiqh, [Kairo, Darul Ansor: tanpa tahun], juz II, halaman 923).
Konsep hifzhun nafs dalam pandangan Imam Al-Haramain diwujudkan dalam pengendalian sosial dengan bentuk qishash sebagai pendekatan represif-kuratif hukum. Pemberlakuan qishash sebagai perwujudan konsep hifzhun nafs ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama ushul fiqih lintas mazhab termasuk lingkaran mazhab Syafi’i sepeninggal Imam Al-Haramain yang dapat kita baca dari karya ushul fiqih mereka. Pendekatan represif-kuratif hukum diduga kuat oleh para ulama sebagai cara efektif dan cocok dalam pengendalian sosial, yakni pencegahan atas tindakan pembunuhan karena orang akan berpikir dua kali untuk membunuh dengan melihat sanksi setimpal. Dari Represif-Kuratif ke Preventif-Antisipatif Ulama ushul fiqih kontemporer datang memberikan tawaran baru atas manifestasi konsep hifzhun nafs dari sekadar qishash. Mereka membuka banyak sisi atas menifestasi konsep hifzhun nafs dalam kehidupan mereka yang oleh ulama ushul fiqih klasik terbatas pada penerapan qishash. Mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan dan dinamika sosial kehidupan hari ini yang semakin kompleks. Ulama ushul fiqih kontemporer menggeser atau tepatnya memperlebar manifestasi prinsip hifzhun nafs dari pendekatan represif-kuratif ke pendekatan preventif-antisipatif. Dengan demikian, jaminan atas keselamatan jiwa manusia tidak hanya diwujudkan melalui dimensi sanksi dan tindakan hukum (jinayah), tetapi juga pada dimensi lain, yaitu adat atau kelaziman-kelaziman sebagaimana dikatakan Muhammad Musthafa As-Syalabi (1910-1997 M/1328-1418 H) berikut ini:
من أجل ذلك جعل العلماء هذا التقسيم يجري في العبادات والعادات والمعاملات والجنايات، شرع الله لحفظ هذه الضروريات أحكاما لوجودها، وأخرى للمحافظة عليها حتى لا تنعدم بعد الوجود…والعادات كالأكل والشرب واللباس وما شاكل ذلك لحفظ النفس والعقل وجودا والقصاص والديات وحد الشرب لحفظهما من العدم
Artinya, “Oleh karena itu, ulama melakukan pembagian ad-dharuriyyatul khams (lima kebutuhan mendasar) yang berlaku dalam masalah ibadah, adat, dan jinayah. Untuk menjaga ad-dharuriyyatul khams, Allah mensyariatkan hukum demi menjamin keberadaannya di satu sisi dan menjamin keberlangsungan lima hal tersebut pada sisi lain sehingga tidak punah atau binasa setelah kehadirannya… Adat (atau kebiasaan) seperti (kebutuhan) makan, minum, pakaian, dan sejenisnya (disyariatkan) untuk menjaga keberadaan jiwa dan akal; dan qishash, diyat, dan sanksi hukum pada konsumsi zat memabukkan (disyariatkan) untuk menjaga keduanya (jiwa dan akal) dari kepunahan,
(Lihat Syalabi, Ta’lilul Ahkam, [Kairo, Darus Salam: 2017 M/1438 H], halaman 303)
Pembacaan ulang atas manifestasi prinsip hifzhun nafs juga dilakukan oleh Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki. Ia memberikan cacatan kritik atas perwujudan prinsip hifzhun nafs yang dilakukan ulama terdahulu melalui pembatasan manifestasi prinsip hifzhun nafs pada dimensi represif-kuratif hukum semata. Baca: Pencegahan Covid-19 dan Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (1) Ia tidak menafikan dimensi tersebut, tetapi mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs itu sendiri
ومعنى حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس
Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa) adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman 89).
Menurut Thahir bin Asyur, jaminan atas keselamatan jiwa manusia terlalu kecil untuk diwujudkan dalam penerapan sanksi atas tindakan pembunuhan semata yang juga bersifat zhanni dan individual, tetapi juga perlu manifestasi preventif-antisipatif dan kolektif seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Umar RA dalam konteks thaun Amawas. An-Nawawi mengatakan, hadits Sayyidina Umar RA riwayat Bukhari dan Muslim tersebut mengandung pesan agar umat Islam waspada, menjauhkan diri, dan mengantisipasi dari sebab-sebab yang dapat mengancam keselamatan jiwanya, termasuk wabah dan tha’un. (An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz VII, halaman 466-470). Sargh adalah sebuah desa di ujung Syam yang berbatasan dengan Hijaz. Sayyidina Umar menghentikan perjalanannya sampai di sini dan berbalik arah. Sedangkan Amawas adalah sebuah desa di dalam negeri Syam. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: VII/466).
Wabah thaun Amawas terjadi pada Muharram/Shafar 17 H. Sahabat terkemuka yang wafat karena wabah ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah RA, Muadz bin Jabal RA, Yazid bin Abi Sufyan RA, Syurahbil bin Hasanah RA, Harits bin Hisyam RA, dan lain-lain. Wabah penyakit ini menelan korban sedikitnya 25.000 jiwa (sebagian riwayat menyebut 30.000 korban jiwa). (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul Ashimah: tanpa tahun], halaman 222). Guru besar di Universitas Az-Zaitunah dan Menteri Agama Tunisia, Prof Nuruddin bin Muhktar Al-Khadimi (1963 M-…) dalam Kitab Fiqhuna Al-Mu’ashir memasukkan perspektif lingkungan dalam memaknai hifzhun nufus sebagai salah satu ushulus syariah atau ad-dharuruyyatul khams. “Kemaslahatan dasar (dharuriyyah) menyarankan adanya pemenuhan kebutuhan dasar lazim kehidupan yang hanya terwujud dengan lingkungan yang sehat dari wabah dan penyakit berbahaya, terlebih lagi penyediaan makanan yang layak dan obat-obatan pokok dalam rangka melestarikan kehidupan (iqamatul hayah) dan menjamin keselamatan jiwa (hifzhun nufus).” (Al-Khadimi, Fiqhuna Al-Mu’ashir, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 32).
Al-Khadimi juga memaknai konsep hifzhun nufus dari perspektif peradaban. Ia mengutip pandangan Ibnu Khaldun yang menyebut gotong royong dalam menyempurnakan kehidupan sosial yang terdiri atas individu, perlindungan manusia dari bahaya yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri dan spesiesnya, serta jaminan perlindungan fisik manusia dari sengatan cuaca panas dan iklim dingin sebagai bentuk konkret prinsip hifzhun nufus. (Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur, Ru’yah Maqashidiyyah [Kairo, Darus Salam: 2014 M/1435 H], halaman 50-51). Adapun langkah preventif dan antisipatif dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 ini kemudian diwujudkan dalam bentuk social distancing atau jaga jarak fisik melalui pelaksanaan shalat Zuhur pada hari Jumat di rumah masing-masing, pergeseran shalat berjamaah dari masjid ke rumah, pemindahan aktivitas pembelajaran sekolah, kampus serta perkantoran ke rumah, dan menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang. Langkah ini diambil sebagai manifestasi atas prinsip hifzhun nufus atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia. Saya menduga ada beberapa alasan kenapa pendekatan represif-kuratif hifzhun nufus tidak dapat diterapkan pada saat menghadapi Covid-19. Pendekatan represif-kuratif tidak tepat diterapkan pada kasus Covid-19. Pendekatan ini terbilang berisiko dan telat karena menunggu jatuh banyak korban baru melakukan kuratif di Indonesia.
Sementara kasus Covid-19 memiliki referensi dari negara lain yang sebelumnya mengalami. Sebagian ustadz, pengurus masjid, dan juga dai mungkin menolak pendekatan preventif-antisipatif dengan tetap menggelar pertemuan akbar, tabligh, Jumatan, dan shalat berjamaah khususnya pada zona merah Covid-19. Mereka mengatakan seperti pada sebagian video yang tersebar bahwa masjid adalah tempat yang aman, kumpul di masjid adalah anjuran, dan Jumat adalah kewajiban. Tetapi mereka tidak dapat memberikan jaminan atas keselamatan jiwa para jamaah yang hadir termasuk diri mereka sendiri yang menjadi pijakan atau prinsip syariat mereka dalam beragama. Al-Asqalani menceritakan wabah tha’un yang awalnya terjadi pada 27 Rabi’ul Awwal 833 H di Kairo, Mesir. Pada saat itu korban awalnya hanya berjumlah kurang dari 40 jiwa. Pada tanggal 4 Jumadil Ula 833 H, masyarakat berkumpul setelah sebelumnya diimbau untuk berpuasa tiga hari seperti Shalat Istisqa. Mereka berkumpul, berdoa, dan berdiam selama satu jam sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya belum lewat sebulan jumlah korban wabah berjatuhan hingga setiap hari mencapai di atas 6000 korban jiwa bahkan terusmenerusbertambah.
- Dampak Ekonomi sebab covid 19 yang melanda Indonesia bahkan dunia.
Pandemi Covid-19 merupakan virus corona yang berasal dan pertama kali muncul dari kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Di duga Covid-19 ini berasal dari hewan kelewar dan setelah di telusuri, orang-orang yang terinfeksi virus ini merupakan orang-orang yang memiliki riwayat telah mengunjungi pasar basah makanan laut dan hewan lokal di Wuhan, China.
Manusia merupakan mahluk sosial yang memungkinkan saling berinteraksi secara langsung sehingga tingkat penyebaran pandemi Covid-19 semakin pesat, hingga Kamis, 26 maret 2020 tercatat 198 negara yang terinfeksi oleh Covid-19.Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi pandemi Covid-19, pada 26 Maret 2020 tercatat 893 orang positif virus Corona. Diantaranya, 35 orang sembuh, 780 orang di rawat, dan 78 orang meninggal dan sampai sekarang telah mencapai 6000 lebih warga Indonesia yang positif Virus Covid 19.
Salah satu penyebab virus corona mudah menyebar di Indonesia adalah karena Indonesia merupakan negara dengan Sektor pariwisata. Sektor pariwisata merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia dan memiliki kontribusi devisa terbesar kedua di Indonesia setelah devisa hasil ekspor Kelapa Sawit.
Sektor pariwisata memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada perekonomian Indonesia. Dampak jangka pendek dapat di rasakan secara langsung, sedangkan dampak jangka Panjang dapat dilihat dengan bertambahnya pendapatan nasional, namun dengan adanya Covid-19 semuanya tak lagi sama.
Sektor pariwisata yang sekarang mengalami kelesuan sehingga daya beli menurun secara drastis karena berkurangnya pengunjung baik turis lokal maupun turis mancanegara, yang secara otomatis pendapatan dan devisa yang di hasilkan dari sektor pariwisata semakin menurun.
Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan pemerintah pada 18 Maret 2020, segala kegiatan di dalam dan di luar ruangan di semua sektor yang terkait pariwisata dan ekonomi kreatif ditunda sementara waktu demi mengurangi penyebaran corona.
Hal ini mengakibatkan sektor pariwisata menjadi lumpuh sementara, sehingga pengangguran semakin bertambah karena pariwisata merupakan salah satu wadah yang memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar tempat wisata maupun masyarakat dari luar.
Contohnya, Aston Bogor Hotel & Resort melakukan penutupan yang di mulai pada tanggal 22 Maret 2020 serta 120 karyawan dipulangkan karena adanya penurunan bisnis yang di akibatkan oleh pandemi dari virus corona ini.Bukan hanya sektor pariwisata yang mengalami kelumpuhan sementara, tetapi para karyawan dari jenis perusahaan lainnya ikut merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Yang dimana pekerjaan atau kegiatan yang biasanya dilakukan diluar rumah secara langsung sekaran terpaksa harus dilakukan di dalam rumah.
Serta ada banyak pula karyawan yang terancam pemberhentian hak kerja (PHK) karena banyak pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk dikerjakan dirumah, seperti halnya kegiatan produksi yang bergantung pada mesin yang berada di tempat produksi.
PHK ini juga dilakukan karena kurangnya pembelian dari konsumen dan dibatasinya ekspor ke negara tertentu sehingga akan menghambat ekspor dan mengurangi pendapatan perusahaan, bahkan perusahaaan bisa mengalami kerugian. Ada pun penyebab lain dari di PHK nya para karyawan yaitu karena kelangkaan bahan baku untuk diproduksi yang di impor dari negara luar seperti dari negara Thiongkok sehingga akan menghambat kegiatan industri.
Perusahaan yang berhenti beroperasi dan peningkatan jumlah angka pengangguran dapat menghambat dan mengurangi produk domestik bruto (PDB) serta menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Presiden Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan alasan mengapa tidak mengeluarkan kebijakan lockdown dalam pencegahan penyebaran Covid-19.
“Kemudian ada yang bertanya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan. Perlu saya sampaikan setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda-beda, kedisplinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita tidak memilih jalan itu (lockdown),” kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada gubernur se-Indonesia melalui video conference, Selasa (24/3/2020).
Presiden Indonesia tidak mengeluarkan kebijakan lockdown bukan tanpa alasan, menurut beliau setiap negara memiliki karakter dan budaya yang berbeda-beda. Beliau juga mengaku telah melakukan kalkulasi dan analisis yang matang terhadap negara-negara yang melakukan kebijakan lockdown.
“Kebijakannya seperti apa semua dari Kemenlu dari Dubes yang ada terus kita pantau setiap hari. Jadi yang paling pas di negara kita physical distancing, menjaga jarak aman,” jelas dia.
“Kalau itu bisa kita lakukan saya yakin kita bisa mencegah penyebaran Covid-19 ini,” sambung Jokowi.
Jika presiden mengeluarkan kebijakan lockdown maka akan berdampak besar pada pertumbuhan perekonomian Indonesia, hal ini di sebabkan oleh kegiatan perekonomian yang akan berhenti secara besar-besaran. Sebagai gantinya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan lainnya seperti belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Meskipun kebijakan tersebut di berlakukan, namun masih ada saja masyarakat yang menyalahgunakan kebijakan ini, seperti kegiatan belajar dan bekerja di rumah di gunakan untuk berlibur di luar kota.
Sehingga penyelewengan kebijakan ini dapat memperluas dan mempercepat penyebaran virus Corona, baik dari yang disebarkan oleh para pengunjung kepada masyarakat setempat, maupun yang disebarkan oleh masyarkat setempat kepada para pengunjung.
Sebagai warga negara yang baik dan patuh pada pemerintah dan aturan kita hanya perlu disiplin terhadap kebijakan social distancing dan physical distancing (jaga jarak aman) #dirumahAja untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 dan perekonomian Indonesia cepat pulih kembali.
Semoga Bermanfaat……
Oleh : Abdul Majid Muhdlor
Related Post
Terbaru
- RMI PWNU Jawa Tengah Bersama Baznas Jawa Tengah Dorong Pesantren Melek Digital melalui Pelatihan Digital Marketing
- Santri APIK Kaliwungu Uji Ketangguhan di UKT Pencak Silat Harimau Putih: Menguji Fisik, Mental, dan Warisan Budaya dalam Tradisi Bela Diri Nusantara
- Halaqoh Pengembangan Metodologi Bahtsul Masail: Memperkokoh Kajian Tafaqquh Fiddin
- Halaqoh Pengasuh Pesantren Naharul Ijtima’ RMI PWNU Jawa Tengah: Menjadi Pengasuh Pesantren yang Alim dan Berdedikasi
- RMI PWNU Jateng Gelar Naharul Ijtima di Kendal, Fokus Revitalisasi Pesantren Menuju Indonesia Emas 2045
Leave a comment